Latest Post

Written By Najib Amrullah on Selasa, 20 Januari 2015 | 08.28

Mungkin pernah terbesit sebuah pertanyaan didalam benak kita. Ketika terjadi perbedaan Ulama tentang suatu permasalahan di dalam agama Islam, katakanlah ulama A mengatakan boleh/halal sedangkan ulama B mengatakan tidak boleh/haram. Kemudian sebagian kita mengikuti pendapat ulama A dan sebagian yang lain mengikuti pendapat ulama B. Lalu manakah yang benar diantara kedua pendapat ulama tersebut? tentu kita sebagai manusia yang lemah tidak bisa menghukumi kemungkinan kebenaran itu. Kemudian kita berandai, ternyata yang benar dari dua pendapat ulama yang tadi adalah pendapat ulama A dan pendapat ulama B yang salah setelah kita berada di akhirat yang mana semua hukum ditegakkan seadil adilnya, dan kebenaran diungkapkan sebenar benarnya. Apakah Ulama B yang salah tadi dan meleset dari kehendak-Nya dan kita yang mengikuti pendapatnya mendapatkan dosa dari Allah swt. sewaktu di dunia? Kalau jawabannya iya mendapatkan dosa, dengan bahasa kasar dan jahil dapat disimpulkan bahwa ternyata pendapat seorang ulama bisa kemungkinan benar atau salah dan juga pendapat ulama yang salah bisa mengantarkan kepada dosa dirinya dan orang yang mengikuti pendapatnya. Bagaimana tidak berdosa karna kita telah melakukan suatu amalan yang ternyata tidak sesuai dari kehendak dan ketentuan Allah swt.
Kalau kita mau bersabar lagi dengan belajar dan membaca tentang ikhtilaf fuqoha’ ini dan flashback kepada sejarah para Nabi dan sahabat sahabat dulu, tentunya disana akan kita temukan bahwa ternyata dua Malaikat saja pernah berbeda pendapat. Nabi Musa as.dengan Nabi Harun as. Juga Nabi Daud as. dengan Nabi Sulaiman as. pernah berbeda pendapat. Pada zaman Nabi Muhammad saw. Juga banyak perbedaan pendapat antara sahabat dengan sahabat bahkan Nabi sendiri pun dengan sahabat. Apalagi zaman zaman setelahnya pasti akan lebih banyak lagi disebabkan Nabi saw. sudah tiada, zaman dan kondisi kaum Muslimin juga berbeda dengan masa Nabi saw, lebih lebih banyak permasalah yang tidak terjadi pada zaman Nabi saw yang membutuhkan kepada istimbath hukum dari para Mujtahid dan Ulama.
Hadits ini sangat popular dikalangan umat Islam : dari ‘Amru bin ‘Ash bahwasanya Nabi saw. bersabda : Jika seorang hakim berijtihad dalam menetapkan suatu hukum,lalu hasil ijtihadnya benar maka dia akan mendapatkan dua pahala. Jika salah, dia mendapatkan satu pahala.(HR.Muslim). Di dalam riwayat lain disebutkan jika ijtihadnya benar akan mendapatkan 10 pahala dan jika salah mendapatkan dua atau satu pahala.
Jadi, selama suatu permasalahan yang hukumnya masih diperselisihkan, ayat atau haditsnya tidak qoth’I mengandung makna mutasyaabih dan multi tafsir, Allah swt tidak akan menghukumi dosa seorang Ulama atau orang yang mengikuti pendapatnya bahkan menyiksanya di neraka lantaran hasil ijtihadnya yang salah. Tetapi dia akan mendapatkan pahala walaupun lebih sedikit dari pahala Ulama yang benar ijtihadnya. Lalu bagaimana dengan pengikut pendapatnya tadi? Mereka akan mendapatkan pahala juga karna sudah mengamalkan ayat Allah swt. di surah AlAnbiya’:7 “maka bertanyalah kamu kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”
Kalau kita menyertakan dalil ‘Aqli, tentu tidak mungkin bagi Allah swt. yang Maha Pengasih, Adil, Penyayang memberikan dosa dengan semena mena yang mana syari’at atau aturannya belum jelas, ayat ayatNya mengandung multi tafsir, sulit untuk ditarik sebuah kesimpulan hukum, lalu siapa yang luput dalam menafsirkan dan mengistimbath suatu hukum kemudian diberikan dosa. Yang seakan akan membuat lobang jebakan dosa kepada hambaNya sendiri. Lalu dimana letak ke Maha adilan,penyayang,pengasih, Allah swt.? Mengapa Allah swt. sengaja dalam menciptakan dalil dalil mutasyaabih, zhonni, dan susah untuk diambil sebuah kesimpulan hukum syar’i?
Justru,orang yang dikenai dosa adalah seorang yang melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt dengan sengaja yang mana hukum keharamannya jelas, didukung oleh dalil qath’I baik tsubut/dilalah atau minimal dari ijma’ para ulama yang tidak ada hukum ketetapan sebelumnya. Misalkan berzina, meninggalkan shalat dengan sengaja, membunuh seorang Muslim dll,
Kalau kita menganggap berdosa dari hasil ijtihad yang salah, tentunya sebagian sahabat yang tidak kedapatan waktu shalat ashar di Bani Quraidhoh lantaran mentaati perintah Nabi saw. berdosa karna tidak shalat ashar. Tetapai Nabi saw.membenarkan dua kelompok sahabat yang sholat sebelum sampai di Bani Quraidhoh dan yang sampai di Bani Quraidhoh. Dari pembenaran Nabi saw. terhadap dua kelompok ini, menunjukkan tidak ada yang berdosa.
Nabi saw.juga pernah kalah (dalam bahasa kasar) dari ijtihadnya Umar bin Khottob ra. yang mana Nabi saw. dan Abu bakar ra. berijtihad untuk menjadikan tawanan perang Badar. Sedangkan Umar ra. berijtihad membunuh semua tawanan. Yang akhirnya turun ayat yang menegur Nabi saw, surah Al Anfal:67. Dan setelah itu Nabi saw.pun menangis dengan apa yang diperbuatnya. Lalu apakah kita akan menyimpulkan bahwa hasil ijtihad Nabi saw. berdosa lantaran tidak sesuai dengan yang diinginkan Allah swt.? tentu saja jawabannya tidak. Bahkan akan mendapatkan pahala karna yang berijtihad adalah seorang mujtahid muthlaq yang punya kredibelitas dan kemampuan dalam melakukannya.
Berbeda dengan orang yang belum punya ilmu yang mumpuni, juga bukan seorang mujtahid, yang mengistimbath suatu hukum dari sebuah hadits atau ayat semaunya sendiri. Karna mengambil sebuah hukum dari sebuah ayat atau hadits tidak semudah yang hanya membaca maknanya saja lalu ditarik sebuah kesimpulan. Bahkan hasil ijtihad dari orang yang seperti itu akan berakibat fatal dan bisa mengantarkan dosa. Seperti yang terjadi pada sahabat yang kepalanya pecah akibat perang. Sahabat tadi tidur, kemudian setelah bangun dari tidurnya dalam keadaan junub lalu seorang sahabat lain yang bukan seorang mujtahid dan mampu dalam beristimbath menyuruhnya mandi junub. karna sahabat yang tadi beralasan tetap wajib mandi junub walaupun kepalanya pecah. Dari hasil ijtihadnya tadi mengakibatkan kematian sahabat yang kepalanya pecah lalu datang Nabi saw. dan memarahinya bahkan beliau mengatakan "kamu telah membunuhnya". Perlu diketahui juga, bahwa tidak semua sahabat Nabi saw. adalah seorang mujtahid tetapi hanya sekitar 300 an sahabat yang mampu berijtihad.
Cukuplah bagi orang yang awam seperti kita bertaqlid (taqlid yang dibolehkan) kepada Ulama yang mu’tabar. Yang mana syarat syarat seorang mujtahid belum atau tidak terpenuhi pada diri kita. Tidak usah sok jago untuk mengistimbath suatu hukum yang nantinya akan membawa malapetaka bahkan mengantarkan kepada dosa.
Wallahua’lam

Cairo,wisnu,08/01/2015 06:55